Executive Sustainability Masterclass #7 – Driving Sustainable Initiatives and Fostering Sustainable Values for Organization
8/29/2024 8:00:00 AM | Press ReleasePertamina Sustainability Academy (PSA) kembali menggelar Executive Masterclass Cohort 7 yang berkolaborasi dengan PwC Indonesia dengan mengangkat tema “Driving Sustainable Initiatives and Fostering Sustainable Values for Organization”. Program ini menjadi wadah strategis bagi para eksekutif tingkat SVP, VP, dan GM untuk menggali pemahaman lebih terkait strategi dan rencana aksi konkret dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam peran kepemimpinan dan operasi bisnis mereka.
Acara ini dibuka oleh VP Sustainability Program, Rating, and Engagement, A.A.A. Indira Pratyaksa, yang sekaligus meresmikan peluncuran Sustainability Micro Learning (e-learning). Dalam sambutannya, Indira memberikan konteks terkait pentingnya peningkatan kesadaran dan keterlibatan seluruh elemen organisasi dalam menghadapi tantangan keberlanjutan. Melalui kick-off Sustainability Micro Learning (e-learning), Indira mengungkapkan bahwa Sustainability Pertamina bersama dengan Pertamina Corporate University (PCU), telah mengembangkan 10 (sepuluh) modul pembelajaran yang dirancang khusus untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan seluruh Perwira Pertamina dalam menghadapi tantangan keberlanjutan, memastikan bahwa setiap individu dapat berkontribusi secara maksimal dalam upaya perusahaan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Selanjutnya, VP Pertamina Corporate University, Baskara Agung Wibawa, menyampaikan keynote speech yang memperkuat komitmen Pertamina dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam budaya perusahaan. Baskara menyoroti pentingnya adaptasi terhadap perubahan dan inovasi dalam menciptakan nilai jangka panjang bagi organisasi.
Pada sesi berikutnya, Andrew Halim dari PwC Indonesia memberikan pemaparan dengan tema "Building Climate-Resilient Futures". Andrew menyoroti bagaimana efek perubahan iklim dapat memengaruhi operasional bisnis perusahaan, sehingga penting bagi perusahaan untuk secara aktif mengelola risiko yang muncul, mengembangkan strategi ketahanan yang kuat, serta memanfaatkan peluang yang muncul sehingga perusahaan perlu meningkatkan pemahaman mereka tentang paparan risiko terkait iklim dan bagaimana hal tersebut memengaruhi kinerja keuangan mereka. Selain itu, Andrew mengangkat konsep penting terkait "Just Transition" dalam sektor minyak dan gas. Ia menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam transisi, seperti pengurangan produksi minyak dan gas yang dapat menyebabkan hilangnya pendapatan, perpindahan pekerjaan, dan ketidakamanan ekonomi bagi pekerja serta komunitas yang bergantung pada industri ini. Menurutnya, untuk mengatasi tantangan tersebut Just Transition harus difokuskan pada diversifikasi produk dalam menciptakan sumber pendapatan alternatif serta mengembangkan strategi untuk mendukung pekerja dan komunitas yang terdampak selama transisi dari bahan bakar fosil.
Kemudian, Suripno, VP Sustainability Strategy, menguraikan strategi Pertamina dalam menghadapi perubahan iklim dan transisi energi yang sedang berlangsung. Suripno menekankan bahwa Pertamina berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat melalui strategi dekarbonisasi yang mencakup pengurangan emisi Scope 1 dan 2, serta upaya untuk mengidentifikasi dan mengurangi emisi Scope 3. Dalam upaya ini, Pertamina juga berkomitmen untuk meluncurkan inisiatif biofuel, petrochemical, dan geothermal sebagai bagian dari upaya menciptakan nilai melalui low-carbon business. Lebih lanjut, Suripno menyoroti pentingnya memastikan bisnis rendah karbon dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan perusahaan di masa depan dengan tetap memenuhi kebutuhan energi Indonesia dan memberikan kontribusi positif terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan global.
Sesi selanjutnya, Direktur Utama Pertamina New & Renewable Energy (PNRE), John Anis, memberikan pemaparan mengenai peran penting para pemimpin dalam mendorong perubahan menuju keberlanjutan di dalam organisasi. Ia juga berbagi pengalaman mengenai tantangan dan strategi dalam mengembangkan bisnis yang berkelanjutan di sektor energi. John Anis menekankan bahwa di era transformasi energi saat ini, peran seorang pemimpin tidak hanya terbatas pada pencapaian target bisnis, tetapi juga harus mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam setiap aspek operasional perusahaan.
Selanjutnya, Yuliana Sudjonno dari PwC Indonesia memberikan wawasan mengenai perspektif investor terhadap keberlanjutan, menyoroti pentingnya faktor Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam pengambilan keputusan investasi. Yuliana menjelaskan bahwa investor semakin menuntut perusahaan untuk mengintegrasikan faktor ESG ke dalam strategi korporasi mereka, dengan harapan transparansi yang lebih besar dalam pelaporan dan pengungkapan risiko serta peluang keberlanjutan. Yuliana juga membahas kinerja indeks yang selaras dengan keberlanjutan di Indonesia, yang menunjukkan performa sejalan dengan saham yang diperdagangkan secara luas dari tahun 2017 hingga 2023. Hal ini mencerminkan bahwa investasi yang berfokus pada keberlanjutan dapat memberikan hasil yang kompetitif, sekaligus menarik minat investor yang semakin peduli terhadap dampak lingkungan dan sosial. Lebih lanjut, Yuliana menyoroti salah satu isu utama yakni ketergantungan pasar modal Asia-Pasifik (APAC) pada sumber daya alam. Lebih dari setengah ekonomi di wilayah APAC bergantung langsung pada sumber daya alam, membuatnya rentan terhadap risiko terkait alam seperti kehilangan keanekaragaman hayati, polusi, dan kelangkaan air. Mengutip data dari Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC) dan PwC yang menunjukkan bahwa 58% dari kapitalisasi pasar di wilayah tersebut sangat bergantung pada alam, menandakan bahwa banyak perusahaan di bursa saham APAC menghadapi risiko yang signifikan terkait alam, termasuk kehilangan keanekaragaman hayati dan ketidakstabilan iklim.
Sebagai penutup, Christian Sinaga dari PwC Indonesia memberikan pandangan tentang bagaimana pembiayaan berkelanjutan dapat menjadi pendorong utama bagi Pertamina dalam mendukung transisi energi dan mencapai tujuan keberlanjutan yang lebih luas. Christian menjelaskan bahwa pembiayaan berkelanjutan bagi Pertamina terletak pada akses ke pembiayaan hijau dan transisi, efisiensi biaya, serta dukungan untuk tujuan nasional. Ia juga menyebutkan potensi proyek energi hijau yang dapat dimanfaatkan dalam pembiayaan berkelanjutan, seperti infrastruktur energi hijau yang mendukung roadmap Pertamina dalam program dekarbonisasi serta low-carbon business, termasuk Solar PV, CCUS, Hidrogen, dan Biofuel. Christian juga menyoroti bahwa ekosistem pembiayaan berkelanjutan di Indonesia didukung oleh berbagai inisiatif pemerintah yang berfokus pada peningkatan ketahanan dan daya saing lembaga keuangan, serta kontribusi mereka terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) dan perubahan iklim. Oleh sebab itu, Christian menekankan pentingnya untuk mempertimbangkan pembiayaan berkelanjutan sebagai opsi pendanaan sejak tahap awal perencanaan proyek, dengan memahami struktur pembiayaan, menyoroti keberlanjutan dan dampak, serta mitigasi risiko.
Dengan adanya Executive Sustainability Masterclass ini, diharapkan para peserta dapat semakin memahami dan menerapkan inisiatif keberlanjutan di lingkungan kerja mereka, serta menjadi agen perubahan yang aktif dalam mewujudkan visi Pertamina menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Kolaborasi antara Pertamina dan PwC Indonesia ini menunjukkan komitmen kuat Pertamina dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan di seluruh aspek bisnisnya, serta mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan secara global.
Acara ini dibuka oleh VP Sustainability Program, Rating, and Engagement, A.A.A. Indira Pratyaksa, yang sekaligus meresmikan peluncuran Sustainability Micro Learning (e-learning). Dalam sambutannya, Indira memberikan konteks terkait pentingnya peningkatan kesadaran dan keterlibatan seluruh elemen organisasi dalam menghadapi tantangan keberlanjutan. Melalui kick-off Sustainability Micro Learning (e-learning), Indira mengungkapkan bahwa Sustainability Pertamina bersama dengan Pertamina Corporate University (PCU), telah mengembangkan 10 (sepuluh) modul pembelajaran yang dirancang khusus untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan seluruh Perwira Pertamina dalam menghadapi tantangan keberlanjutan, memastikan bahwa setiap individu dapat berkontribusi secara maksimal dalam upaya perusahaan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Selanjutnya, VP Pertamina Corporate University, Baskara Agung Wibawa, menyampaikan keynote speech yang memperkuat komitmen Pertamina dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam budaya perusahaan. Baskara menyoroti pentingnya adaptasi terhadap perubahan dan inovasi dalam menciptakan nilai jangka panjang bagi organisasi.
Pada sesi berikutnya, Andrew Halim dari PwC Indonesia memberikan pemaparan dengan tema "Building Climate-Resilient Futures". Andrew menyoroti bagaimana efek perubahan iklim dapat memengaruhi operasional bisnis perusahaan, sehingga penting bagi perusahaan untuk secara aktif mengelola risiko yang muncul, mengembangkan strategi ketahanan yang kuat, serta memanfaatkan peluang yang muncul sehingga perusahaan perlu meningkatkan pemahaman mereka tentang paparan risiko terkait iklim dan bagaimana hal tersebut memengaruhi kinerja keuangan mereka. Selain itu, Andrew mengangkat konsep penting terkait "Just Transition" dalam sektor minyak dan gas. Ia menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam transisi, seperti pengurangan produksi minyak dan gas yang dapat menyebabkan hilangnya pendapatan, perpindahan pekerjaan, dan ketidakamanan ekonomi bagi pekerja serta komunitas yang bergantung pada industri ini. Menurutnya, untuk mengatasi tantangan tersebut Just Transition harus difokuskan pada diversifikasi produk dalam menciptakan sumber pendapatan alternatif serta mengembangkan strategi untuk mendukung pekerja dan komunitas yang terdampak selama transisi dari bahan bakar fosil.
Kemudian, Suripno, VP Sustainability Strategy, menguraikan strategi Pertamina dalam menghadapi perubahan iklim dan transisi energi yang sedang berlangsung. Suripno menekankan bahwa Pertamina berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat melalui strategi dekarbonisasi yang mencakup pengurangan emisi Scope 1 dan 2, serta upaya untuk mengidentifikasi dan mengurangi emisi Scope 3. Dalam upaya ini, Pertamina juga berkomitmen untuk meluncurkan inisiatif biofuel, petrochemical, dan geothermal sebagai bagian dari upaya menciptakan nilai melalui low-carbon business. Lebih lanjut, Suripno menyoroti pentingnya memastikan bisnis rendah karbon dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan perusahaan di masa depan dengan tetap memenuhi kebutuhan energi Indonesia dan memberikan kontribusi positif terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan global.
Sesi selanjutnya, Direktur Utama Pertamina New & Renewable Energy (PNRE), John Anis, memberikan pemaparan mengenai peran penting para pemimpin dalam mendorong perubahan menuju keberlanjutan di dalam organisasi. Ia juga berbagi pengalaman mengenai tantangan dan strategi dalam mengembangkan bisnis yang berkelanjutan di sektor energi. John Anis menekankan bahwa di era transformasi energi saat ini, peran seorang pemimpin tidak hanya terbatas pada pencapaian target bisnis, tetapi juga harus mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam setiap aspek operasional perusahaan.
Selanjutnya, Yuliana Sudjonno dari PwC Indonesia memberikan wawasan mengenai perspektif investor terhadap keberlanjutan, menyoroti pentingnya faktor Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam pengambilan keputusan investasi. Yuliana menjelaskan bahwa investor semakin menuntut perusahaan untuk mengintegrasikan faktor ESG ke dalam strategi korporasi mereka, dengan harapan transparansi yang lebih besar dalam pelaporan dan pengungkapan risiko serta peluang keberlanjutan. Yuliana juga membahas kinerja indeks yang selaras dengan keberlanjutan di Indonesia, yang menunjukkan performa sejalan dengan saham yang diperdagangkan secara luas dari tahun 2017 hingga 2023. Hal ini mencerminkan bahwa investasi yang berfokus pada keberlanjutan dapat memberikan hasil yang kompetitif, sekaligus menarik minat investor yang semakin peduli terhadap dampak lingkungan dan sosial. Lebih lanjut, Yuliana menyoroti salah satu isu utama yakni ketergantungan pasar modal Asia-Pasifik (APAC) pada sumber daya alam. Lebih dari setengah ekonomi di wilayah APAC bergantung langsung pada sumber daya alam, membuatnya rentan terhadap risiko terkait alam seperti kehilangan keanekaragaman hayati, polusi, dan kelangkaan air. Mengutip data dari Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC) dan PwC yang menunjukkan bahwa 58% dari kapitalisasi pasar di wilayah tersebut sangat bergantung pada alam, menandakan bahwa banyak perusahaan di bursa saham APAC menghadapi risiko yang signifikan terkait alam, termasuk kehilangan keanekaragaman hayati dan ketidakstabilan iklim.
Sebagai penutup, Christian Sinaga dari PwC Indonesia memberikan pandangan tentang bagaimana pembiayaan berkelanjutan dapat menjadi pendorong utama bagi Pertamina dalam mendukung transisi energi dan mencapai tujuan keberlanjutan yang lebih luas. Christian menjelaskan bahwa pembiayaan berkelanjutan bagi Pertamina terletak pada akses ke pembiayaan hijau dan transisi, efisiensi biaya, serta dukungan untuk tujuan nasional. Ia juga menyebutkan potensi proyek energi hijau yang dapat dimanfaatkan dalam pembiayaan berkelanjutan, seperti infrastruktur energi hijau yang mendukung roadmap Pertamina dalam program dekarbonisasi serta low-carbon business, termasuk Solar PV, CCUS, Hidrogen, dan Biofuel. Christian juga menyoroti bahwa ekosistem pembiayaan berkelanjutan di Indonesia didukung oleh berbagai inisiatif pemerintah yang berfokus pada peningkatan ketahanan dan daya saing lembaga keuangan, serta kontribusi mereka terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) dan perubahan iklim. Oleh sebab itu, Christian menekankan pentingnya untuk mempertimbangkan pembiayaan berkelanjutan sebagai opsi pendanaan sejak tahap awal perencanaan proyek, dengan memahami struktur pembiayaan, menyoroti keberlanjutan dan dampak, serta mitigasi risiko.
Dengan adanya Executive Sustainability Masterclass ini, diharapkan para peserta dapat semakin memahami dan menerapkan inisiatif keberlanjutan di lingkungan kerja mereka, serta menjadi agen perubahan yang aktif dalam mewujudkan visi Pertamina menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Kolaborasi antara Pertamina dan PwC Indonesia ini menunjukkan komitmen kuat Pertamina dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan di seluruh aspek bisnisnya, serta mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan secara global.